Cara Sukses Belajar Menurut Imam Syafii
Dalam bait sya’ir dari Imam Syafi’i disebutkan sebagai berikut.
– أخي لن تنالَ العلمَ إِلا بستةٍ … سأنبيكَ عن تفصيلِها بيانِ
– ذكاءٌ وحرصٌ واجتهادٌ وبلغةٌ … وصحبةُ أستاذٍ وطولُ زمانِ
Wahai saudaraku, ilmu tidak akan digapai kecuali dengan menempuh 6 hal, aku akan paparkan padamu penjelasannya:
1. Cerdas (dzaka’un)
2. Harus semangat (hirshun)
3. Harus semangat (ijtihadun)
4. Butuh modal (bulghotun)
5. Belajar dari guru (shuhbatu ustadzin)
6. Butuh belajar lama (thulu zamanin)
Namun ada ulama yang menyampaikan dengan rincian sebagai berikut.
1. Cerdas (dzaka’un)
2. Harus semangat (hirshun)
3. Harus sabar (ishtibarun)
4. Butuh modal (bulghotun)
5. Belajar dari guru (shuhbatu ustadzin)
6. Butuh belajar lama (thulu zamanin)
Berikut penjelasannya.
1. CERDAS
Cerdas itu anugerah.
Coba lihat bagaimana kita butuh kecerdasan, bisa kecerdasan dalam memahami maupun kecerdasan dalam menghafal.
Salah satu ulama yang kami ingin contohkan saat ini adalah Al-Imam Al-Bukhari.
Coba lihat Imam Bukhari yang menghafalkan banyak hadits. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan bahwa Muhammad bin Hamdawaih berkata, “Aku mendengar Imam Bukhari berkata bahwa ia telah menghafalkan 100.000 hadits shahih dan 200.000 hadits tidak shahih.” Disebutkan hal ini dalam muqaddimah Fath Al-Bari.
Kuatnya hafalan beliau pernah diuji oleh ulama Baghdad. Ada 100 hadits yang ingin diujikan pada beliau dengan dibagikan pada 10 ulama. Jadi masing-masing ulama memegang 10 hadits untuk diujikan pada Imam Bukhari. Lantas hadits tersebut diacak antara sanad (periwayat) dan matannya (isi hadits), sanad yang satu diacak berada di matan hadits lainnya dan seterusnya. Kemudian Imam Bukhari diuji oleh masing-masing ulama tadi. Orang banyak dari Baghdad dan Khurasan hadir ketika itu untuk melihat bagaimanakah Imam Bukhari diuji.
Imam Bukhari ditanya tentang hadits-hadits tersebut oleh masing-masing ulama. Ketika ditanya, Imam Bukhari selalu menjawab, “Saya tidak mengenal hadits tersebut.” Semua soal mengenai haditsa, beliau jawab seperti itu, “Saya tidak mengenal, saya tidak mengenal, dan seterusnya.” Hingga orang-orang menilai, Imam Bukhari ini ternyata sedikit hafalannya.
Setelah pengujian dari sepuluh ulama ini selesai dengan total ujian 100 hadits, Imam Bukhari lantas berkata pada penguji yang pertama, “Adapun hadits yang engkau sebutkan adalah seperti ini dan yang benarnya seperti ini.” Seterusnya seperti itu, hadits yang mereka ucapkan tadi diulang, lalu beliau menyebutkan benarnya bagaimana 10 ulama beliau jawab hingga total 100 hadits tadi selesai beliau sebut dan benarkan. Beliau ketika itu mengembalikan sanad dan matan haditsnya sesuai dengan yang benar, padahal sebelumnya telah diacak dan dibolak-balik. Dari situlah orang-orang sangat mengakui kekuatan hafalan dari Imam Bukhari.
Tentang kisah di atas dishahihkan oleh Syaikh ‘Ali Hasan Al-Halabi dalam tahqiq beliau terhadap kitab Al-Ba’its Al-Hatsits karya Ibnu Katsir.
Kita bisa menyimpulkan sendiri bagaimanakah kuatnya hafalan Imam Bukhari. Sekali mendengar saja beliau bisa hafal, lalu beliau membetulkan yang keliru-keliru tadi setelah sebelumnya telah diacak 100 hadits oleh 10 ulama. Itulah kecerdasan luar biasa dari ulama di masa silam.
Ingat, ulama itu ada dua tipe dalam menghafal. Ada yang menggunakan kuatnya hafalan seperti Imam Bukhari di atas. Ada juga yang merekam hafalannya di catatannya (lewat kitabah). Masing-masing punya keunggulan dalam hal ini.
Namun ingatlah kalau kita dikaruniakan kecerdasan, manfaatkanlah untuk kebaikan dunia dan akhirat. Otak kita jika masih memiliki “space” yang cukup untuk belajar agama, bukan hanya ilmu dunia, maka gunakanlah juga untuk manfaat akhirat.
2. PUNYA SEMANGAT
Ulama dahulu perlu menempuh perjalanan ratusan hingga ribuan kilometer, hanya untuk mendapatkan satu hadits saja. Lihat semangat yang luar biasa dari mereka.
Imam Nawawi dalam sehari bisa menghadiri 12 majelis untuk belajar dengan guru. Ini belum termasuk waktu menulis beliau. Karena beliau punya hasil karya tulis yang begitu banyak yang telah masyhur di tengah-tengah kita seperti kitab Riyadhus Sholihin, Hadits Arba’in An-Nawawiyah dan Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. Dan hampir semua cabang ilmu dalam agama, Imam Nawawi punya tulisan tentang hal itu.
3. MESTI SABAR
Karena belajar itu ada kesulitan. Dan belajar itu butuh waktu siang dan malam. Kadang harus menahan ngantuk, menahan lapar, dan menahan kesusahan lainnya.
4. PUNYA MODAL
Modal itu dibutuhkan untuk membeli kitab dan untuk melakukan perjalanan (safar) demi belajar pada para guru.
Coba lihat para ulama semangat dalam mengoleksi buku. Diceritakan oleh Ibnu Hajar mengenai Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ad-Duror Al-Kaminah, “Ibnul Qayyim sangat semangat mengoleksi buku. Sampai-sampai koleksian bukunya tak terhitung. Anak-anak beliau sampai-sampai menjual buku-buku beliau setelah Ibnul Qayyim meninggal dunia. Itu butuh waktu yang lama. Itu selain dari buku yang anak-anaknya memilih untuk mereka sendiri.” (Dinukil dari ‘Uluw Al-Himmah, hlm. 189-190)
5. BELAJAR DENGAN GURU
Ingin mempelajari Al-Qur’an, fikih, akidah, akhlak, semuanya butuh panduan guru. Contoh dahulu saja ketika belajar Al-Qur’an, kita tak mungkin belajar secara otodidak. Namun pasti dengan guru. Dan ulama-ulama sejak dahulu selalu punya banyak guru.
Karena belajar pada guru, kita bisa belajar akhlak darinya langsung. Itulah yang terjadi di masa Imam Ahmad. Banyak yang berguru pada Imam Ahmad untuk mempelajari akhlak beliau.
Beda dengan kita yang lebih asyik belajar lewat google, youtube, dan malas menghadiri majelis ilmu.
6. BUTUH WAKTU YANG LAMA
Imam Ibnul Jauzi masih membacakan kitab qira’ah ‘asharah pada gurunya Al-Baqilani padahal ketika itu usianya 80 tahun. Anaknya yang bernama Yusuf pun ikut membaca bersama beliau.
Imam Ibnu Hazm baru belajar serius ilmu agama ketika berusia 26 tahun.
Ada yang bertanya pada Ibnul Mubarak, “Sampai kapan engkau belajar?” Beliau menjawab, “Sampai mati insya Allah.”
Abu ‘Amr bin Al-‘Ala’ pernah ditanya oleh Ibnu Mu’adz, “Sampai kapan orang pantas untuk belajar?” Jawab beliau, “Sampai seseorang itu pantas untuk hidup.”
Ibnu ‘Aqil ketika berada di usia 80 tahun masih terus semangat belajar. Beliau pernah mengatakan, “Aku tidak mau menyia-nyiakan waktuku. Aku ingin terus menggunakan lisanku untuk mudzakarah, penglihatanku untuk muthala’ah (menelaah). Aku tetap ingin terus berpikir di waktu rehatku sehingga ketika bangkit, aku sudah menuliskan apa yang aku ingin tulis. Aku terlihat lebih semangat ketika berusia 80 tahun dibanding ketika usiaku 20 tahun.” (Dinukil dari ‘Uluw Al-Himmah, hlm. 202)
Lihatlah tidak ada kata terlambat untuk belajar dan memang belajar itu butuh waktu yang lama.
Itulah semangat para ulama dalam belajar dalam waktu yang lama.
Dari keenam hal tadi, ada modal penting untuk sukses belajar agama:
1- Belajar dengan guru.
2- Butuh kesabaran.
3- Belajar berniat untuk memperbaiki diri lebih dahulu.
4- Modal paling penting adalah kuasai bahasa Arab.
Semoga kita semakin sukses dalam belajar terutama dalam mendalimi ilmu agama untuk kebahagiaan abadi.
—-
Intisari Kajian Bersama Siswa SMA 1 Wonosari Gunungkidul, 10 Dzulqa’dah 1438 H (03/08/2017)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel RemajaIslam.Com
Artikel asli: https://remajaislam.com/945-cara-sukses-belajar-menurut-imam-syafii.html